Sabtu, 01 Oktober 2011

Sajak Seorang Ibu


Bermimpilah yang indah, anakku

saat kucium keningmu dengan mata basah

lalu kukalungkan selendang berkotak pada lehermu

dimana serpih mortir Israel laknat itu menembusnya

dan membuatmu meregang nyawa

lalu menyebut nama ibu dan ayah berulang-ulang

menahan rasa perih menikam tulang


Bermimpilah yang indah, anakku

Ada ayah yang telah syahid menunggumu di gerbangNya

Airmata ibumu akan menjelma seumpama titian pelangi

membawamu kesana, ke haribaanNya yang kekal

bersama doa-doa yang ibu lantunkan

setiap saat, setiap kali,

saat membasuh pelan darah yang mengucur dari lehermu


Bermimpilah yang indah, anakku

Kamu tak akan sendiri

Ibu selalu hadir untukmu, disampingmu

menyenandungkan tembang-tembang syahdu

disela-sela gemuruh pesawat tempur merobek langit

dan dentum suara bom menggetarkan bumi

Ibu selalu ada bagimu

bersama lirih dzikir dan takbir penuh tawadhu’


Bermimpilah yang indah,anakku

dalam lelap tidur panjang,

kasih ibu menemanimu

bagai pendar cahaya dalam sepimu dan juga

pada riuh perang yang tak berkesudahan

sumber foto

–Teriring salam dukacita mendalam untuk anak-anak Palestina yang menjadi kekejaman Israel di Jalur Gaza.Semoga Allah SWT menerima arwah mereka dan mendapatkan tempat yang mulia disisiNya. Amin..

MENYESAP SENYAP


Selalu, aku rasa,
kita akan bercakap dalam senyap
Dengan bahasa langit yang hanya kita yang tahu
serta menyemai setiap harap yang kerap datang mengendap
lalu meresapinya ke hati dengan getir

Selalu, aku rasa,
kamu tersenyum disana, ketika akupun tersenyum disini
dan kita, dengan bahasa langit yang kita punya itu,
secara bersahaja, menyapa larik-larik kenangan
dan meniti setiap selasar waktu
bersama desir rindu menoreh kalbu

Selalu, aku rasa,
kita tak dapat menafikan batas yang membentang
dimana jarak membingkainya lalu menjadikannya nyata
serta membuat kita sadar
bahwa pada akhirnya,
dalam pilu kita berkata:
Biarlah, kita menyesap setiap serpihan senyap
dan menikmatinya, tak henti, hingga lelap
tanpa tatap, tanpa ratap

HUJAN MEMBAWA BAYANGMU PERGI


Sudah lama, aku menyulam khayalan pada tirai hujan
menata wajahmu disana serupa puzzle,
sekeping demi sekeping, dengan perekat kenangan di tiap sisinya
lalu saat semuanya menjelma sempurna
kubingkai lukisan parasmu itu dalam setiap leleh rindu
yang kupelihara di sudut hati dengan rasa masygul
dari musim ke musim

“Cinta selalu memendam rahasia dan misterinya sendiri,
pada langit, pada hujan,” katamu lirih terbata-bata.
Dan seketika, linangan air matamu menjelma
bagai deras aliran sungai yang menghanyutkanku jauh ke hulu
dimana setiap harapan kita karam disana

Sudah lama, aku memindai sosokmu pada derai gerimis
memastikan setiap serpih mimpiku untuk bersama
membangun surga di telapak kakimu dapat menjadi nyata
tapi selalu, semuanya segera berlalu
dan sirna bersama desir angin di beranda

“Percayalah, aku ada dinadimu seperti kamu ada didarahku,”bisikmu pelan
ketika bayangmu, perlahan memudar dibalik rinai hujan..

PURNAMA TERISAK DI PUCUK MALAM


Purnama yang mengapung di rangka langit malam ini
seperti bercerita
tentang sebuah kehilangan yang pedih
dan jejak-jejak luka yang tertinggal
pada sepanjang bias cahaya lembutnya

Purnama yang menggigil di kelam malam
adalah pilu kegetiran yang kau sematkan pelan-pelan
pada rerumputan pekarangan
dimana embun dini hari
menyesapnya dalam-dalam, lalu membawanya pergi
seiring terik mentari esok pagi

Purnama yang menangis terisak di pucuk malam ini
mengantar segala nyanyian duka dan airmatamu
mengalir di sepanjang sungai kenangan
menuju muara yang jauh
dimana, katamu dengan lidah kelu,
“Aku tak tahu, apakah disana segalanya kelak
menjadi hangat mendamaikan
atau malah menjadi hangus tak bersisa”

UNTUK SEPOTONG SENJA DI AKHIR TAHUN

Dalam Diam, kau termangu
Sepotong senja dibatas cakrawala memaku pandangmu
“Di akhir tahun, selalu ada rindu yang luluh disana, sejak dulu”
katamu, pilu

Terlampau cepat waktu berderak
hingga setiap momen tak sempat kau bekukan dalam hati
tapi tidak untuk ini
selalu ada ruang buatnya dipojok sanubari
dimana kangen itu kau kemas
bersama serpih-serpih kenangan
yang terserak dan telah kau simpan rapi
pada lanskap langit atau kerlip bintang di bentang lazuardi
hingga ketika saat itu tiba
kau memetiknya satu-satu
dengan asa menyala, juga senyum getir
seraya mengurai lamunan
“Kalau saja mesin waktu bisa diciptakan, selalu
akan ada kesempatan berikut”, igaumu pelan.
Begitu banyak garis batas memuai
saat kau terbuai

Dan ketika rindu itu terbenam bersama mentari senja,
sekali lagi, setiap waktu di akhir tahun tiba,
kau kembali diam dan termangu dipagut sepi yang menikam
serta sesal tak bertepi